VIDEO ARIEL & LUNA; SYAHWAT KEMUNAFIKAN KITA
Oleh: KH DR Emelham
(Pimred Majalah Cahaya Sufi)
Dalam
kontroversi Inul ‘ngebor’ beberapa tahun silam, mestinya para pemimpin
bangsa langsung berkontemplasi, bahwa sudah sekian puluh tahun para
pemimpin kita tidak menggunakan akal sehatnya untuk memimpin, para
Ulamanya digambarkan oleh KH Mustofa Bisri berada dalam maljis dzikir
yang ditengah-tengahnya ada penari yang ngebor. Sebuah potret luapan
syahwat yang pahit dalam beragama, dalam ber-ritual dan keteladanan
batin anak-anak bangsa ini.
Dan saat ini, tidak satu pun lembaga, Ormas keagamaan atau pun tokoh yang melihat peristiwa Ariel-Luna, dengan forum kearifan, apalagi dengan “kacamata Tuhan” yang penuh dengan pancaran Kasih Sayang dan Kelembutan. Semua muncul dengan nada marah, sekaligus pembenaran diri sendiri. Apakah kita harus minum miras, lalu mabuk lebih dahulu, kemudian sambil mabuk kita mengharamkan miras sembari memecahkan botol-botolnya? Bayangkan jika berjuta-juta pengguna seluler menghujat Ariel-Luna, pada saat yang sama mereka secara sembunyi menikmati video yang ada?
Padahal,
menurut dimensi spiritual Islam (Sufisme), tingkat kearifan seseorang
harus dikedepankan dalam memandang berbagai peristiwa “gelap”. Dalam
tradisi Sufi, ada cara pandang yang lebih berhikmah dalam melihat kasus
video porno tersebut. Seperti dikatakan Ibnu Athaillah as-Sakandary,
“Terkadang Allah mentakdirkan hambaNya berbuat dosa, agar si hamba
lebih dekat kepadaNya…” Atau dalam hikmah lainnya, “Maksiat yang
menimbulkan remuk redam jiwa di depan Allah, lebih baik dibanding
ibadah yang melahirkan rasa sombong dan sok mulia…”
Bukankah
video tersebut sebagai “sindiran” Allah kepada bangsa ini agar tidak
munafik dengan diri sendiri? Bukankah Cahaya Allah, tampak semakin
jelas justru dari sisi kegelapan, dan sebaliknya betapa banyak
kegelapan yang subur dari ritual ibadah atas nama Tuhan, atas nama
Nabi, atas nama Islam? Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Allah
memasukkan malam dalam siang, dan memasukkan siang dalam malam.” Yang
ditafsirkan oleh para sufi, “Allah memasukkan maksiat dalam ibadah, dan
memasukkan ibadah dalam maksiat”?
Nabi
Adam as, dan Hawa, ditakdirkan bersalah di syurga, karena memang Nabi,
Rasul, Khalifah, serta Bapak Manusia itu harus diangkat ketika ada di
muka bumi. Derajat Risalah dan Nubuwwah justru muncul paska dosa di
syurga. Sebuah “rahasia Ilahi” yang sangat dramatis dan kelak menjadi
pelajaran bagi anak cucu Adam itu sendiri. Bahwa, sebesar apa pun dosa
seseorang, tidak boleh menghalangi prasangka baiknya (husnudzon) kepada
Allah Swt.
Rasanya sudah
terlalu jenuh kita dicekoki oleh informasi yang paradoks dalam
keseharian batin kita, tapi juga respon publik yang sangat konyol dan
sombong. Kelak jika kondisi iniberlarut, akan muncul kegamangan yang
membahayakan kejujuran hati kita. Luka-luka moral, bukannya
disembuhkan, tetapi dibiarkan meradang agar ada kompensasi musuh
bersama yang kekanak-kanakan seperti yang kita lihat selama ini.
Sudah
terlalu lama kita kehilangan “hikmah”, bahkan kejujuran batin yang
bercahaya. Jangan sampai kita terjebak pada arena, yang dihuni oleh
para penjahat yang sedang berlomba membangun peradaban jahat tanpa
sedikitpun merasa jahat, karena cahaya tak pernah muncul di
kegelapannya. Juga jangan terjebak pada arena terang benderang yang
dihuni oleh orang yang merasa dirinya patuh pada Tuhannya, lalu
membangun peradaban “cahaya” dari kegelapan keangkuhan spiritualnya.